"Pernahkah kau melihat orang menyambutku di bandara dengan membaca maulid Nabi? " tanya Habib Umar bin Hafidz kepada putranya yang menyertainya. "Sebelumnya belum pernah terjadi. Tapi di sini di Denmark, kota yang konon sangat membenci dan menghina Nabi Saw, lantunan Shalawat justru dikumandangkan.
Kita belum sampai di kotanya, baru di bandaranya, sudah disambut dey shalawat. Kau lihat bagaimana Allah Swt kuasa memberi hidayah walaupun di tempat yang konon sangat membenci Nabi dan Rasul- nya" lanjut Habib Umar bin Hafidz.
Keteduhan dan kesejukan Habib Umar bin Hafidz itulah barang kali yang menyebabkan orang-orang yang menyambutnya mersa perlu membacakan shalawat maulid Nabi Saw.
Sebenarnya, sambutan untuk orang-orang shaleh dengan lantunan shalawat merupakan hal yang tidak asing, terutama di Indonesia.
Apalagi, menurut Mieflich Hasbullah, dengan malantunkan shalawat dalam acara-acara penyambutan seorang Ulama seperti itu diharapkan terbangun suasana religius yang dapat mengkondisikan seseorang agar selalu termotivasi untuk melakukan hanya kebaikan-kebaikan.
Peristiwa yang beraroma keanehan itu tampaknya belum selesai. Dalam cerita selanjutnya, putra Habib Umar bin Hafidz itu menjelaskan bahwa pada saat ayahnya sedang memberikan taushiyah dalam sebuah forum, rupanya diantara yang hadir waktu itu ada seorang misionaris.
Tidak dijabarkan dengan jelas pada bagian mana dari taushiyah Habib Umar bin Hafidz yang kurang berkenan di hati misionaris tersebut. Namun setelah acara selesai, si misionaris tersebut konon menyampaikan pesan seorang pendeta yang meminta Habib Umar bin Hafidz untuk menemui pendeta tersebut di sebuah gereja.
Bersambung....